Kebijakan Impor yang Tidak Transparan Masih Perhambat Swasembada Pangan

- 30 September 2021, 08:52 WIB
Petugas Perum Bulog cabang Indramayu memeriksa stok beras impor di Gudang Bulog Tegalgirang, Bangodua, Indramayu, Jawa Barat, Selasa, 23 Maret 2021
Petugas Perum Bulog cabang Indramayu memeriksa stok beras impor di Gudang Bulog Tegalgirang, Bangodua, Indramayu, Jawa Barat, Selasa, 23 Maret 2021 /Antara News

BULELENGPOST.COM - Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai kebijakan impor pangan yang ada di Indonesia sekarang cenderung proteksionis dan kerap dipertentangkan dengan swasembada pangan.

"Kebijakan impor pangan juga patut disorot karena cenderung proteksionis dan dijalankan dengan sistem lisensi dan kuota yang tidak transparan yang berpotensi menyebabkan masalah," kata Felippa Ann Amanta dalam siaran pers di Jakarta, Kamis, 30 September 2021

Felippa juga memaparkan permasalahan yang dapat timbul akibat kebijakan impor pangan yang cenderung proteksionis antara lain adalah pembatasan akses pasar, kenaikan harga, penambahan biaya administratif dan perilaku pencari rente.

Baca Juga: Keripik Tempe Jadi Prioritas Ekspor ke Jepang, Konjen RI: Tempe Juga di Produksi di Jepang Melalui Diaspora

Dikutip dari Antara News, Kamis 30 September 2021, Felippa membeberkan beberapa hal yang menyebabkan penggunaan sistem lisensi dan kuota impor tidak efisien untuk sistem pangan Indonesia.

Pertama, importir harus meminta rekomendasi dari Kementerian Pertanian dan meminta izin dari Kementerian Perdagangan, proses yang terkadang memakan waktu yang lama sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga di dalam negeri.

Kedua, menurut dia, karena berbasis kecukupan, keputusan impor biasanya dikeluarkan ketika stok sudah menipis karena jauh dari musim panen. Namun justru ketika stok menipis baik di Indonesia maupun di negara lain, impor pun akan menjadi mahal.

Baca Juga: Craxy Siapkan Album Baru dan Dirilis Oktober Mendatang

"Riset CIPS misalnya, menunjukkan bahwa Bulog bisa berhemat Rp303 miliar antara November 2010 hingga Maret 2017 jika keputusan impor terbit lebih cepat, saat harga internasional masih rendah," kata Felippa.

Halaman:

Editor: Bagus Putu Ardha Krisna Putra

Sumber: Antara News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x