Arti dan Makna Penjor Galungan

- 5 November 2021, 18:40 WIB
Penjor yang berada di sekitar pura
Penjor yang berada di sekitar pura /ignartonosbg/Pixabay

BULELENGPOST.COM --- Galungan identik dengan penjor. Dimana pada  Anggara (Selasa) Wage Dungulan (Penampahan Galungan) setelah jam 12 siang masyarakat Hindu di Bali mempersiapkan diri untuk membuat penjor.

Lalu apa itu penjor? merangkum dari berbagai sumber, penjor adalah lambang dari Naga Basukih yang notabene merupakan perlambang kesejahteraan serta kemakmuran.

Selain itu, penjor juga disebut sebagai lambang gunung yang memiliki makna sama seperti Naga Basukih.

Baca Juga: Mantra yang Bisa Digunakan saat Galungan, Kuningan dan Pagerwesi

Penjor terbuat dari bambu ukuran sedang atau kecil dengan panjang tertentu dan ujungnya melengkung. Kemudian bambu itu dihiasi dengan janur/ daun Enau yang masih muda serta daun-daunan lainnya.

Perlengkapan lainnya yang menghiasi penjor adalah pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), pala gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), pala wija (seperti jagung, padi dll).

Jajan, serta sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran.

Baca Juga: Upacara Rangkaian Menyambut Galungan dan Kuningan

Kemudian pada bagian ujung digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Memasang Penjor bertujuan untuk mewujudkan rasa bakti dan sebagai ungkapan terima kasih atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan).


Bambu yang melengkung adalah gambaran dari gunung tertinggi sebagai tempat yang suci, hiasan Penjor yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, jajan, dan kain adalah wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan, yang dikaruniai oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan).

Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :

Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha.

Baca Juga: Update Kasus Covid-19 Provinsi Bali Jumat, 5 Nopember 2021

Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi.

Widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.

Baca Juga: Cord dan Lirik Lagu Sisan Timpal Mercy Band

Penjor galungan bersifat religius, yang mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan,dan wajib di buat lengkap dengan kelengkapannya, membuat penjor untuk upacara memerlukan syarat tertentu, dan sesuai dengan Sastra Agama, agar tidak berkesan sebagai hiasan saja.

Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini juga telah disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci, yaitu sebagai berikut :

Bambu (dan kue) sebagai vibrasi kekuatan Dewa Brahma

Kelapa sebagai simbol vibrasi Dewa Rudra

Kain Kuning dan Janur sebagai simbol vibrasi Dewa Mahadewa

Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara

Baca Juga: Lirik dan Cord Lagu Matunangan Ajak Dewa Nanoe Biroe

Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu

Tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu

Padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri

Kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara

Baca Juga: Ramalan Zodiak Aquarius hari ini Jumat, 5 Nopember 2021

Sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa

Upakara sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa

Dan penjor biasanya dicabut satu bulan tujuh hari menurut perhitungan kalender Bali atau pada Pegatwakan. ***

Editor: Gede Apgandhi Pranata


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x