Jati Diri Orang Bali Kekinian dalam Widyatula di Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI

- 25 Juni 2024, 19:51 WIB
Dari Widyatula (Sarasehan) Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI Jati Diri Orang Bali Kekinian, Harus Miliki Keterampilan, Pengetahuan Agama dan Prestasi
Dari Widyatula (Sarasehan) Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI Jati Diri Orang Bali Kekinian, Harus Miliki Keterampilan, Pengetahuan Agama dan Prestasi /Bulelengpost/Dinas Kebudayaan Provinsi Bali

BULELENGPOST.COM - Di jaman sekarang ini, kebanyakan orang yang ‘meyasa sugih’. Sangat jarang yang ‘mayasa lacur’seperti yang diungkapan Ida Pedanda Made Sidemen. Maka itu, tidak ada yang melirik mitra yadnya, ngaben yang sangat kecil.

“Bahkan, tidak ada yang mempraktikkan hal itu, kecuali sisya-sisya Ida Pedanda Made Sidemen,” kata Profesor Ida Bagus Putu Suamba pada Widyatula (Sarasehan) dalam agenda ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI yang berlangsung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Senin (23/6/2024)

Dalam serasehan itu, tiga narasumber masing-masing menggali tiga sosok inspiratif yang tumbuh dari rahim Pulau Dewata. Prof. Suamba mengangkat sosok Ida Pedanda Made Sidemen yang dikenal sebagai sosok manusia Bali yang multitalenta. Sosok Ida Pedanda Made Sidemen sangat sederhana, seperti ungkapannya sendiri yang terkenal ‘mayasa lacur’.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Harian Wilayah Bali mulai 25-27 Juni 2024

Selain dikenal sebagai Kawi-Wiku (pendeta-sastrawan) sosok Ida Pedanda Made Sidemen yang lebar (wafat) pada usia 126 tahun juga dikenal sebagai undagi, sangging, dan juga seniman karawitan. “Banyak ada pedanda dari dulu sampai sekarang, tapi yang menyandang gelar Kawi-Wiku itu sangat jarang, apalagi sekarang dengan agama yang sangat ritualistik sehingga waktu untuk menghasilkan sastra sangat sulit sekali,” ujar akademisi Politeknik Negeri Bali.

Selama enam tahun Prof Suamba meneliti sosok pemuka agama asal Griya Taman, Desa Adat Intaran, Sanur. Puluhan buku sudah diterbitkannya. Dari pertemuan yang intens tersebut, Prof Suamba melihat dari dekat sosok Ida Pedanda Made Sidemen yang menurutnya sangat sederhana, seperti ungkapan Ida Pedanda Made Sidemen sendiri yang terkenal ‘mayasa lacur’.

Kesederhanaan Ida Pedanda Made Sidemen tercermin dari caranya berpakaian sehari-hari yang hanya mengandalkan sehelai kain. Puncaknya, ketika Ida Pedanda Made Sidemen meminta agar palebonnya dilakukan secara amat sangat sederhana.

Baca Juga: Jadwal Pesta Kesenian Bali Rabu, 26 Juni 2024

Di balik segala kesederhanaan itu, Ida Pedanda Made Sidemen sebaliknya justru bergelimang karya yang sebagian besar monumental dan tetap relevan hingga kini. Sebut saja lontar Siwagama (1938), geguritan Salampah Laku (1938), Kakawin Singhalanggyala (1943) dan karya sastra lainnya yang berisi etika atau tutur kehidupan.

Tidak hanya dalam sastra, Ida Pedanda Made Sidemen juga telah mewariskan karya-karya seni berupa tapel, bangunan suci, bade, dan karya seni lainnya. “Selain kesederhanaan ada sejumlah karakter lain yang dimiliki Ida Pedanda Made Sidemen yang membuatnya layak disebut manusia Bali yang sejati,” paparnya.

Sebagai seorang pemuka agama (sulinggih), bakti Ida Pedanda Made Sidemen tidak hanya ditunjukkannya kepada Sang Pencipta, Ista Dewata, dan leluhur. Sembah bakti juga ditunjukkannya kepada para nabe atau guru spiritualnya.

Etos kerja Ida Pedanda Made Sidemen yang berorientasi kepada Ida Sang Kawi tersebut juga dijelaskannya melalui konsep ‘guna dusun’. Melalui konsep ini Ida Pedanda Made Sidemen mengajak masyarakat Bali hidup dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan agar berguna bagi masyarakat. “Itu pesannya, jangan sampai orang Bali malas, menunggu orang lain, menjadi beban masyarakat,” beber Prof Suamba.

Baca Juga: Mengetahui buda Wage Klawu, Pemujaan Kepada Bhatara Rambut Sedhana

Sementara, narasumber Dr Ketut Kodi menerjemahkan karya-karya Ida Pedanda Made Sidemen ke dalam pementasannya. Menurutnya, ajaran-ajaran Ida Pedanda Made Sidemen tersebut juga menginspirasi para seniman di Bali, seperti Ketut Madra. Mendiang maestro pedalangan asal Desa Sukawati, Gianyar mememiliki talenta seperti dalam ajaran Ida Pedanda Made Sidemen.

Dr. Kodi menyebut Ketut Madra sebagai seniman dalang yang lengkap, mampu membawakan filosofi yang mendalam dengan cara yang sederhana dan menghibur. “Suara manis punya, leluconnya bagus, alurnya bagus, dan kritiknya bagus,” ujar dosen ISI Denpasar ini.

Sedangkan, dosen ISI Denpasar, Dr Anak Agung Gde Bagus Udayana mengatakan, sosok kesederhanaan Ida Pedanda Made Sidemen juga melekat pada diri pelukis Bali asal Ubud Anak Agung Gde Sobrat. Pelukis Sobrat ini merupakan salah satu perupa yang paling berpengaruh pada zamannya.

Sebut saja dalam kolaborasinya dengan pelukis-pelukis Eropa seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet membentuk seni lukis Ubud saat ini. “Anak Agung Gde Sobrat dikenal sebagai pelopor yang berhasil menggabungkan teknik dan gaya barat dengan motif-motif tradisional Bali,” ujar Gde Bagus Udayana ini.

Baca Juga: Serbu Sebelum Kehabisan, Ini Hadiah Terbaru Game Seal M Selasa, 25 Juni 2024

Kurator PKB XLVI Profesor I Made Bandem mengatakan sarasehan kali ini sejalan dengan tema PKB tahun ini ‘Jana Kerthi Paramaguna Wikrama’ Harkat Martabat Manusia Unggul. Ketiga tokoh yang diangkat dalam sarasehan memiliki ciri-ciri manusia unggul. Prof Bandem menuturkan, karakter unggul tersebut dapat digunakan untuk menjawab pandangan Michel Picard mengenai jati diri orang Bali kekinian.

“Pertama (orang Bali) harus memiliki personal mastery (keterampilan sesuai bakat masing-masing). Kedua orang Bali harus memiliki pengetahuan agama dan spiritual, dan yang ketiga memiliki prestasi, seperti masing-masing tokoh yang dibicarakan hari ini,” ujar maestro tari Bali ini.

Baca Juga: Ala Ayuning Dewasa hari baik Hindu Rabu, 26 Juni 2024

Sebelumnya, Penulis Prancis Michel Picard dalam bukunya yang berjudul ‘Kebalian’ menyebut manusia Bali kini hidup dalam kebimbangan. Ketika dihantam kolonialisme, memperjuangkan kemerdekaan dalam bingkai Indonesia, dan kini dihampiri pariwisata, telah membuat manusia Bali hidup penuh keraguan tanpa jati diri. Hal ittu, ditulis dalam buku yang diterbitkan National University of Singapore (NUS) setahun lalu. ***

Editor: Gede Apgandhi Pranata


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah