Mengenal HAMOT : Pasukan Barbar Pengkhianat Kemerdekaan dan Pelindung Ratu Belanda

- 7 Agustus 2021, 09:04 WIB
Pasukan HAMOT saat agresi Belanda
Pasukan HAMOT saat agresi Belanda /https://nimh-beeldbank.defensie.nl

BULELENGPOST.COM - Rabu, 21 Juli 1947, tepat 74 tahun yang lalu Agresi Militer Belanda yang pertama terjadi. 

Tidak hanya prajurit Belanda, agresi tersebut juga mencatatkan melibatkan para pembelot pribumi yang tergabung dalam Hare Majesteits Ongeregelde Troopen (Hamot) atau Pasukan Liar Ratu. 

Baca Juga: Disorot Media Asing: Tes Keperawanan untuk Korps Wanita TNI AD Tidak Lagi Diberlakukan

HAMOT menjadi garda terdepan pasukan Belanda saat berhadapan dengan para pejuang kemerdekaan, saudara sebangsanya sendiri. 

Pasukan Belanda tetap menyerbu wilayah Republik Indonesia meski telah menandatangani Perjanjian Linggarjati. 

Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Sabtu, 7 Agustus 2021, agresi bermula saat tengah malam, 20 Juli 1947, Van Mook menggelar konferensi pers guna mengumumkan keluarnya Belanda dari kesepakatan Perjanjian Linggarjati.

Baca Juga: Halo Pak Jokowi.. Pariwisata Bali di Titik Nadir

Perwakilan Negara Kincir Angin tersebut mengistilahkan pengingkaran perjanjian tersebut dengan "kebebasan beroperasi" Belanda yang dilanjutkan di Indonesia.

"Saat konferensi berlangsung, sekitar 120 prajurit Hamot di bawah komando Bavinck melintasi garis demarkasi di Tambun, sebelah timur front Jakarta, untuk menembus garis pertahanan Republik," tulis Robert Cribb dalam bukunya, Para Jago Dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.

Peneliti tersebut juga menggambarkan bagaimana eratnya kerjasama serdadu Belanda yang menyerang wilayah Indonesia saat itu dengan perisai pasukan pribumi‎ Hamot.

Baca Juga: Berikut Update Penanggulangan Covid-19 di Provinsi Bali

Koert Bavinck selaku komandan penyerangan duduk di atas jip berdampingan dengan Panji, pimpinan Hamot saat menyusuri jalan menuju Tambun. Jip itu juga berisi karung-karung pasir. 

"Pertempuran sengit pun terjadi di sekitar Tambun," ucap Cribb. Hamot berhadapan dengan unsur TNI yakni pasukan Beruang Merah yang bertugas di front Timur.

Target mereka adalah menguasai dan mengamankan jalan dan rel yang melintasi Sungai Citarum sebelum wilayah Karawang. 

Baca Juga: LaporCovid Somasi Menkes Terkait Vaksin Berbayar

Dengan dikuasai Belanda, aksi serbuan pasukan mereka lain saat menikam wilayah Republik lainnya bakal berjalan mulus karena terhindar dari gangguan dan sabotase para pejuang. 

Serangan darat gabungan pasukan pembelot dan Belanda itu juga didukung serangan udara pesawat-pesawat Belanda, yang mengguyur peluru dan bom, mengancam kedudukan para pejuang yang berusaha mempertahankan garis demarkasi.  

Tak pelak, kereta api berisi prajurit Divisi 7 Desember dan persenjataan meluncur mulus melintasi jembatan. 

Baca Juga: Kode Redeem Free FIre Jumat, 6 Agustus 2021: Diamond dan Elite Pass Menanti

"Kereta api tersebut setelah kami perhatikan berjumlah 17 gerbong dengan satu lokomotif di depan dan satu di belakang. Diperlengkapi dengan karung pasir serta bermuatan pasukan dengan persenjataan berat, mereka langsung menembaki pertahanan kita," tulis RJ Rusady W dalam bukunya, Tiada Berita Dari Bandung Timur 1945-1947. 

Rusady yang merupakan prajurit Batalyon 33 Pelopor Divisi Siliwangi tersebut saat itu menjabat komandan garnisun yang ditugaskan di wilayah Tambun.

Serangan kilat Belanda membuat pasukan Republik mundur. Upaya menghambat "blietzkrieg‎" ala Belanda itu dibalas pejuang dengan melepas lokomotif agar kereta api berisi pasukan Negeri Kincir Angin itu tak masuk Karawang.

Baca Juga: Tanah Longsor di Tarakan, Seorang Warga Meninggal Dunia

"Tabrakan dahsyat terjadi di mana gerbong meriam Belanda yang dipasang di depan dihantam lokomotif kita. Namun sayang terlambat, karena tabrakan itu terjadi justru terjadi setelah jembatan, yang seharusnya setelah jembatan," kata Rusady.

Usut punya usut, sebagian besar pemuda bumiputera yang bergabung ke HAMOT adalah mereka yang tidak mau tunduk pada pemerintahan RI.

"Ternyata rupanya, pasukan yang dipergunakan Belanda sebagai Stoottroep yang mengambil jalan raya, adalah pasukan laskar pimpinan Haji Panji yang sangat fanatik dan tidak mau tunduk pada kebijaksanaan Pemerintah RI," tulisnya. 

Sebagai informasi, Cribb masih dalam bukunya, menyatakan Panji merupakan pemimpin gerombolan yang memiliki pasukan bersenjata di awal revolusi. 

Baca Juga: Setelah Deddy Corbuzier, Hotman Paris Juga Angkat Suara Kasus Pornografi Dinar Candy

Berdasarkan catatan Belanda, tutur Cribb, Panji sempat dihukum 12 tahun penjara karena tindakan perampokan. Ia dibui sebelum zaman perang. Panji kemudian meloloskan diri saat pendudukan Jepang dan mengoordinasi suplai beras untuk Jepang. Pasukan bersenjata yang dimiliki Panji berjumlah sekira 300 orang. 

"Gerombolannya adalah para pejuang liar dan oportunis yang ia kumpulkan lewat kharisma dan kekuatan gaibnya selain pembagian perlindungan secara cermat," ucap Cribb.

Seperti lazimnya para jago, jawara atau bandit masa revolusi, para pengikutnya  percaya mereka memiliki  kesaktian, atau memiliki kemampuan memberikan mantera kekebalan. Panji juga merupakan menantu Haji Darip, seorang pentolan gerombolan dari Klender, Jakarta. 

Baca Juga: Messi Dipastikan Pamit Dari Barca

Keduanya juga sempat menjadi bagian dari Laskar Rakyat Jakarta Raya, organisasi badan perjuangan di luar TNI yang turut melawan Belanda. Akan tetapi, perluasan wilayah Sekutu membuat basis Panji di Klender tergeser pada 1946.

Pada awal 1947, Panji menyerah dan memilih membawa pengikutnya kembali ke tempat asal dan melintasi garis demarkasi.

Belanda lalu memanfaatkan Panji dan kelompok pengikutnya yang tertangkap guna dijadikan pasukan tambahan yang menerima anggaran dana, seragam, senjata modern dan bayaran serta makanan.

"Perubahaan haluan dari LRJR ke Hamot semakin nyata dengan kedatangan mantan komandan unit LRJR Harun Umar dan Sujono, yang unitnya telah menghilang setelah peristiwa Karawang," kata Cribb.

Baca Juga: Kembali Beroperasi, Ekosistem Digital Ikut Bantu Pulihkan UMKM

Markas Hamot, lanjutnya, berada di Kampung Sumur dekat Klender. Di sana mereka diberi senjata ringan dan mulai digembleng latihan kemiliteran.

Nasib para pembelot pun berakhir tragis. Hendi Jo dalam bukunya, Orang-Orang di Garis Depan menyebutkan, rasa frustrasi dan kecewa melanda pasukan liar sang ratu ketika sadar mereka hanya jadi tumbal paling depan militer Belanda.

Perlakuan diskriminatif dari kesatuan-kesatuan resmi militer Belanda juga mulai mereka rasakan.

"Dari hari ke hari rasa frustrasi itu menguat. Puncaknya terjadi pada September 1947, saat militer Belanda menembak mati Harun Umar karena dianggap desersi karena meninggalkan posnya di Cikampek," tulis jurnalis sejarah tersebut.

Baca Juga: Rossi Umumkan Pensiun Akhir Musim Ini

Sujono, kolega Harun juga ikut melarikan diri dengan pasukannya. Ia akhirnya tewas di tangan kawan-kawan sekampungnya di Lamaran, Karawang karena dianggap pengkhianat.

Hendi mengutip pula pernyataan Cribb yang menyebutkan dedengkot Hamot lainnya, Panji dieksekusi Belanda di suatu tempat karena gelagatnya yang mulai main mata dengan pihak Republik.

Kisah para bandit dan jago saat revolusi kemerdekaan negeri ini memang menarik. Sebagian menjadi bagian dari unsur TNI dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sebagian lagi yang bernasib tragis mati dibedil Belanda yang curiga mereka kembali mendukung Republik. Jika kembali ke republik pun, nyawa mereka tetap tamat di tangan saudara sebangsanya karena dicap pengkhianat.***

 

Disclaimer : Artikel ini telah terbit di Pikiran Rakyat dengan judul "Hikayat Hamot, Pasukan Liar Bumiputera Bantu Agresi Pertama Belanda ke Republik"

Editor: Bagus Putu Ardha Krisna Putra

Sumber: Pikiran-Rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah